Sebuah puisi karangan Rastono Sumardi, yang menceritakan tentang kerinduan akan Kotamobagu
BOLMONG 1959
Permesta ialah satu peristiwa yang tak bisa dilepaskan dari memori kolektif sejarah Bolaang Mongondow Raya. Di ujung pemberontakan, pada 1959, Kotamobagu sebagai benteng terakhir menjelma samudera api. Enam puluh persen dibakar, dan rumah sakit umum menjadi saksi bisu. Puisi ini–kalau kita bisa menyebutnya puisi–ditulis setelah membaca teks Permesta dari Barbara Harvey dan skripsi Dion Mokoginta, dengan harapan puisi bisa memberi nyawa tersendiri bagi ingatan kita.
Refleksi Spasi
Jika antara langit dan tanah, ada siluetJika antara riak dan pasir putih, ada siluetJika antara…
Untuk Felicia (1)
Ke mana gadis manis bermata abu?Dengan senyum mengulum riuhDan rambut terbalut kepangDi sudut rumah toska…
Terkisah
Duniaku sahaja pada ragamu
Bias pandang menerpa
Paksi berlaju lebih cepat ke ufuk timur
waktu tak menoleh pada sebuah perkara
DESA TAMBANG
Hamparan hutan yang menghijau
Begitu indah dipenuhi pohon-pohon besar
Dan kicauan fauna endemik
Diiringi senyum para petani yang lugu
Ah, sungguh elok pemandangan tanah totabuanku
Jika Esok Adalah Hari Ini
Nak, Jika ibu menjadi takut
Lalu siapa yang akan mengajarimu
Tentang keberanian?
Semiotika
Kubiarkan komunikasi kita melampaui semiotika. Tentu saja karna ini merawat emosi dan mumupuk sensasi.
Kota Bogani
TotabuankuTotabuanmuTotabuan kami Tak terlalu besar tapi menawanHamparan permadani luas menghijauBukit-bukit kokoh mengelilingiGemuruh ombak bersiul di…
Gaung
Embusan angin menusuk kulit, sejenakSesudah hujan pergi tanpa pamitMeninggalkan nota tak tertulisJiwaku terkoyak, meronta piasMelanglang…
Tidak Ada Postingan Lagi.
Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.