Sisa gerimis dari atap ijuk menitik ke pelipis yang gemetar
kerik jangkrik menjelma latar. Hudia
menahan kekasihnya untuk tetap tinggal.
Negara berkhianat. Hanun bicara.
Daerah hanya lumbung bagi lambung-
lambung penguasa yang urung
bertukar lapar dengan rakyat mereka.
Hudia mengerti, ia tak bisa menahan
laki-laki yang berjanji menikahinya.
Hanya tersisa siluet punggung melepas langkah
dari beranda di bawah cemas sinar bulan.
Kita akan dikenang dengan kemenangan!
Hanun bergeming
Kelapa-kelapa itu seharga kepala kita!
Hanun bergeming
Kita benteng terakhir pemberontakan,
jangan lengah!
Hanun bergeming
Bila daerah menjelma lautan darah,
itu lebih baik dari komunis merah!
Hanun bergeming, ia pikir
itu kelakar yang lain.
Kotamobagu dibakar!
Hanun tak bergeming.
Sesampainya ia di sana
menanti reruntuhan hitam sangit
menuntut pertanggungjawaban
Ia temukan tulang-belulang Hudia sebagai
arang sisa bara permesta semalam; sebagai
debu, melangit dari lidah-lidah api separuh
Kotamobagu; sebagai rindu yang dirajai amarah.
Laki-laki itu terpanah pikirannya sendiri:
aku telah kalah sebelum Kalah! tubuh Hudia tak bergeming
Rindu Hanun masih setia bergerilya di antara
hutan basah Modinding dan gigil kabut Mooat
bergerilya di antara kenangan masa kanak dan
janjinya untuk kembali dengan selamat
matanya tenggelam
air mata panas
Selalu ia mencari-cari cara pulang ke
lengan Hudia tanpa perlu tiba ke puing-
puing ingatan yang membunuh dirinya
sendiri
setiap malam
bibirnya meredam
harum dendam
Memang, permesta tidak lagi ada
tapi Hanun masih menghukum dirinya
dengan rindu yang menolak habis dan hangus
di hadapan luka sejarah yang begitu banyak sia-sia
Puisi dari Tyo Mokoagow