KOTAMOBAGU, KONTRAS MEDIA –Hari masih pagi, sejak subuh, lalu lalang orang sudah mulai menyesaki Pasar Serasi yang ada di Kelurahan Gogagoman, Kecamatan Kotamobagu Barat. Penjual ikan, penawar jasa angkut, jajanan, kantong kresek, pendorong gerobak, dan segala macam entitas di pasar berpadu dengan pembeli yang hilir mudik masuk keluar lorong-lorong. Sebenarnya, pasar Serasi bukanlah satu-satunya pasar di Gogagoman.
Tidak begitu jauh, ada pasar 23 Maret, yang merupakan pasar tradisional terbesar pertama di Kotamobagu, namun seiring perkembangannya, justru pasar Serasi-lah yang kemudian menduduki predikat sebagai pasar tradisional terbesar. Menjadi pusat jual beli, interaksi dan pertemuan berbagai budaya yang ada di Kotamobagu, bahkan Bolaang Mongondow (BMR) secara umum.
Sejak Pandemi Covid-19, aktifitas jual beli dibatasi. Syukurlah, oleh pemerintah adaptasi kebiasaan baru atau yang beken dengan new normal mulai diberlakukan. Pandemi kini bukan lagi alasan untuk tidak bisa beraktifitas. Setidaknya, itulah yang terlontar dari mulut, Amudin (53), salah satu penjual ikan keliling di Pasar Serasi.
Amudin mengaku berasal dari Gorontalo. Jiwa juang dari ayahnya, membuat Amudin terpaksa datang ke Kotamobagu. Meski lupa kapan persisnya, tapi Amudin tidak lupa bahwa ayahnya dulu bekerja pada seseorang untuk mengemudikan atau menjadi kusir bendi.
Bendi adalah kendaraan tradisional kala itu, sebuah alat transportasi di Kotamobagu yang mengandalkan tenaga kuda. Dimodifikasi agar bisa dinaiki 3-4 orang penumpang. Mirip delman di Jawa.
“Saya ingat, yang punya (bendi) itu orang Matali. Karena almarhum (ayah) selalu mengajak saya ke rumahnya. Memang sejak kecil ayah sudah sering ke Kotamobagu karena ikut kerabat berjualan. Setelahnya ayah menikah dan tinggal di Isimu (Gorontalo), sampai saya lahir. Bersama ibu kami merantau ke Kotamobagu,” kenang Amudin.
Dari sebuah station bendi, yang terlelat di sekitar jalan RA. Kartini, Amudin mulai mengenal seluk beluk pasar di Kotamobagu, bahkan ketika Kotamobagu masih menjadi ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow.
Menurut Amudin, Pasar 23 Maret tidak lagi mampu menampung lonjakan jumlah pedagang. Lambat laun, sebuah lokasi persawahan mulai dijadikan pasar. Pasar itu kemudian sekarang dikenal dengan Pasar Serasi.
“Saya juga sempat ikut jualan ikan di sana. Tentu suasananya sangat jauh berbeda dengan sekarang. Kalau dihitung-hitung sudah lebih dari sepuluh kali saya pindah tempat jualan, dan menjejaki berbagai sub profesi; dari julan ikan, jasa akut barang, jualan gorengan, dan kembali lagi jualan ikan keliling.”
Di pasar, Amudin ketemu dengan berbagai suku yang tersebar di seantero nusantara. Tak jarang mereka selalu berbagi. Berinteraksi hidup berdampingan di tengah suku Mongondow yang merupakan suku asli.
“Mungkin karena sesama pedagang, ketemu bertahun-tahun di tempat yang sama dan berinteraksi dengan budaya yang ada di pasar. Jadi, mau Gorontalo, Bugis, Jawa, Minahasa, Sangihe, adalah hal biasa di pasar.”
Sumber: Totabuan.news