Kontras.co.id – Pemerintah Indonesia resmi mengumumkan bahwa pengemudi ojek dan kurir online berhak menerima tunjangan hari raya (THR) keagamaan 2025.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menegaskan bahwa kebijakan ini sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto dan telah diatur dalam Surat Edaran (SE) Menaker tentang pemberian bonus hari raya (BHR) keagamaan 2025.
Namun, di balik keputusan yang dianggap bersejarah ini, terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi dalam penerapannya.
Salah satu kendala utama adalah bagaimana memastikan bahwa semua pengemudi dan kurir online benar-benar menerima BHR sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Dalam SE tersebut, pengemudi dan kurir online yang berkinerja baik akan mendapatkan BHR sebesar 20% dari rata-rata pendapatan bersih selama 12 bulan terakhir.
Sedangkan bagi yang tidak termasuk dalam kategori tersebut, jumlah BHR akan disesuaikan dengan kemampuan perusahaan.
Meski terlihat jelas, mekanisme penentuan kinerja masih menjadi tanda tanya.
Bagaimana perusahaan aplikator mengukur kinerja pengemudi dan kurir secara adil?
Apakah ada standar baku yang digunakan atau hanya berdasarkan kebijakan masing-masing perusahaan?
“Kita tentu harus fair, tidak mungkin besaran BHR disamaratakan. BHR ini menjadi sarana apresiasi bagi yang bekerja baik. Kami percaya beberapa perusahaan sudah ada simulasinya,” kata Yassierli.
Selain itu, ada kekhawatiran mengenai bagaimana perusahaan aplikasi akan menyesuaikan kebijakan ini dengan model bisnis mereka.
Sebagai perusahaan teknologi, aplikator selama ini tidak mengakui pengemudi dan kurir sebagai karyawan tetap, melainkan sebagai mitra.
Hal ini menimbulkan perdebatan apakah kebijakan THR ini akan berdampak pada perubahan status hubungan kerja antara pengemudi dan aplikator.
Selain itu, pemerintah sendiri telah membuka posko aduan dan konsultasi THR untuk menjawab berbagai pertanyaan dan keluhan dari pengemudi serta kurir online.
Posko ini tersedia di PTSA Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Ketenagakerjaan di berbagai daerah.
Namun, keberadaan posko ini tidak serta-merta menghilangkan kekhawatiran pengemudi dan kurir online.
Sejumlah pengemudi berharap ada pengawasan lebih ketat agar perusahaan tidak mencari celah untuk menghindari kewajiban membayar THR.
“Saya berharap pemerintah benar-benar mengawasi. Jangan sampai hanya segelintir pengemudi yang dapat THR, sementara yang lain tidak,” ujar salah satu pengemudi ojek online di Jakarta.
Dengan berbagai tantangan yang ada, penerapan kebijakan THR bagi pengemudi dan kurir online masih perlu diawasi dan dievaluasi lebih lanjut.
Keputusan ini merupakan langkah awal yang baik, namun efektivitasnya akan sangat bergantung pada implementasi di lapangan.