Mantan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Korupsi Jalur Kereta Api

Kontras.co.id – Skandal korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa tahun 2017-2023 kini memasuki babak baru.

Mantan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Prasetyo Boeditjahjono, resmi didakwa atas dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp1,1 triliun.

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 17 Maret 2025, jaksa menyebut Prasetyo telah menerima keuntungan pribadi sebesar Rp2,6 miliar dari proyek tersebut.

“Yang merugikan Keuangan Negara sebesar Rp1.157.087.853.322 atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana dalam Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Proyek Pembangunan Jalur Kereta Api Besitang-Langsa,” ujar jaksa dalam pembacaan dakwaan pada Senin, 17 Maret 2025.

Jalur KA Besitang-Langsa dirancang untuk menghubungkan Sumatera Utara dengan Aceh, tetapi proyek ini malah menjadi ajang penyimpangan dana dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan pekerjaan.

Prasetyo tidak sendirian, karena sejumlah pihak lain juga terlibat dalam kasus ini, termasuk mantan Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, Nur Setiawan Sidik, yang telah lebih dahulu diadili.

Salah satu modus yang digunakan adalah manipulasi persyaratan tender, di mana Prasetyo diduga mengarahkan proyek ini agar dimenangkan oleh PT Mitra Kerja Prasarana milik Freddy Gondowardojo.

“Syarat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh PT Mitra Kerja Prasarana yang dimiliki oleh Freddy Gondowardojo,” ungkap jaksa.

Jaksa juga mengungkap bahwa Prasetyo menerima sejumlah uang serta fasilitas sebagai bagian dari “commitment fee” dari pihak-pihak yang memenangkan proyek tersebut.

Selain dirinya, banyak pihak lain juga diuntungkan dari penyimpangan ini, termasuk Nur Setiawan yang menerima Rp1,5 miliar, Akhmad Afif sebesar Rp9,5 miliar, Amanna Gappa Rp3,2 miliar, Rieki Meidi Rp785,1 juta, Halim Hartono Rp28,5 miliar, dan Arista Gunawan Rp12,3 miliar. Sementara itu, Freddy Gondowardojo sendiri mendapatkan keuntungan fantastis sebesar Rp64,2 miliar.

Baca juga :  Mutasi Hybrid Diwaspadai Jadi Fase Baru Covid-19

Dalam persidangan, jaksa menuntut Prasetyo dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sejumlah terdakwa lain dalam kasus ini telah lebih dahulu menerima vonis, mulai dari 3,5 tahun hingga 7 tahun penjara, dengan denda serta uang pengganti yang bervariasi sesuai besarnya keuntungan yang mereka terima.

Kasus ini mencerminkan bagaimana proyek infrastruktur yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat malah dijadikan ajang korupsi oleh pejabat-pejabat berwenang.

Kini, masyarakat menantikan apakah hukuman yang dijatuhkan kepada Prasetyo akan setimpal dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan.